Inikah Seni?

February 28, 2017

Dua hari yang lalu, tepatnya hari Minggu 26 Februari 2017 aku menerima notifikasi pesan masuk dari salah satu grup yang aku ikuti. Aku buka image yang dikirimkan oleh salah satu member yang sontak bikin aku sangat teramat tersinggung dan langsung aku jawab "kok jahat sih??".  Langsung aku telusuri si empunya akun instagram yang tercapture di grup tersebut dan ngebatin "astaghfirullah, ni orang ed*n, sint*ng kali ya?!" dan semakin akun instagramnya dilihat, aku semakin sakit hati, pilu yang terdalam. Pun ketika lihat foto-foto tagging yang ada di instagramnya.

Semakin lama, semakin viral lah si orang ini di dunia maya. Minggu malam, nama seniman yang terkenal nyentrik ini semakin teramat terkenal dan ternyata gak cuma aku aja yang sedih dan pilu yang teramat sangat ketika melihat "hasil kerja" si seniman yang katanya sedang "bereksperimen sosial".

Sebelum aku tulis postingan ini, sudah ada tulisan Chacha Thaib yang ditulis dengan rujukan dua artikel dari media (baca di sini dan di sini). Mari kita doakan semoga dua artikel tersebut gak tiba-tiba hilang dari perederan ya :'). Dan rasanya aku gak bisa duduk diam dan mengamati "fenomena" yang tak berperikemanusiaan ini.




Singkat cerita si empunya ide ini adalah pemilik akun instagram @roodkapje, Natasha Gabriella Tontey yang setelah diketahui membuat acara/ pameran bertajuk "Little Shop of Horror" yang mengangkat ide kanibalisme. Dengan bekal ide kanibalisme tersebut dia berusaha mempertanyakan apakah sifat kanibalisme itu ada di dalam diri setiap orang dan dengan berbekal cerita fiksi yang ia buat tentang toko daging bayi yang mensupport panti asuhan yang diasuh oleh suster, ia mengundang circle of friends nya dia untuk hadir dalam dinner yang berkonsep ide "kreatif" nya tersebut. 
"pas kita masih bayi menyusui, itu juga terhitung minum darah. Kalo zaman sekarang, bayi baru lahir, ari-arinya disimpen di cord blood bank, kalo misalnya sakit tinggal dimakan buat menyembuhkan."- @roodkapje via Vice Indonesia
Gak perlu dideskripsikan lebih lanjut dinner seperti apa yang Tontey selenggarakan (silahkan lihat sendiri di #MakanMayit), tapi aku menentang  dan memertanyakan tentang karya seni ini. Seni yang seperti apa ya? Apakah waktu riset yang dilakukan oleh mbak Tontey lakukan ini kurang panjang? 

Mbak Tontey, Begitu banyak wanita di sana yang dengan susah payah mengandung, melahirkan, dan berharap atas kesehatan bayinya. Bahkan banyak wanita di sana yang harus berbesar hati ketika bayi yang dinanti harus keluar sebelum waktunya. Serta banyak wanita di sana yang susah payah berusaha mendapatkan anak, lalu ketika melihat postingan Anda di sosial media mereka akan sangat terpukul dan hati yang hancur ketika melihat boneka berupa bayi dijadikan piring untuk menyajikan makanan dengan istilah-istilah yang menurut saya gak pantas.

Mbak Tontey juga harus tahu, begitu banyak wanita yang susah payah mengumpulkan ASI demi mengASIhi anaknya agar gizinya terpenuhi sedangkan Anda dengan tanpa dasar menyebutkan kalau event ini disupport oleh salah satu asosiasi menyusui untuk membuat pudding berbentuk fetus yang katanya terbuat dari ASI?*

Mungkin mbak Tontey ini belum terpikir untuk berkeluarga dan punya anak dalam waktu dekat ini. Tapi coba lihat ibu Anda yang sudah susah payah mengandung, melahirkan Anda, menyusui Anda, dan tiba-tiba di tengah mengasuh Anda yang masih bayi harus melihat ada seorang seniman menggunakan media boneka bayi dan merelasikannya dengan kanibalisme terhadap bayi, dengan mengatas namakan eksperimen sosial. Kira-kira bagaimana perasaan ibu Anda, mbak?.

Maaf sekali kalau saya akhirnya juga harus ikut bersuara. Karena hal ini sudah masuk di dunia maya dimana semua orang berhak untuk mengemukakan pendapatnya. Saya punya putra dan saya tahu perjuangan untuk jadi ibu itu gak mudah. Saya juggling tiap hari dengan alat pumping agar supply ASI untuk anak saya terpenuhi setiap harinya dan harus patah hati ketika ASI yang saya kumpulkan gak sengaja tumpah. Saya tahu banyak wanita di luar sana yang susah payah ikhtiar kesana-kesini agar dikaruniai anak. Saya paham perasaaan wanita yang harus berbesar hari kehilangan janinnya yang belum lahir. Dan saya tahu gak harus jadi ibu untuk merasakan hal tersebut. Hanya butuh otak dan rasa empati. Tapi gak tahu juga ya kalau standar normal kita berbeda.

Isu seperti ini sangat sensitif. Seharusnya, selain harus bisa berfikir kreatif, seorang seniman juga  harus bisa berfikir normatif dan jauh ke depan. Tapi mbak, sepertinya eksperimen social nya berjalan dengan sukses ya. Karena efek atau pendapat yang diterima ga hanya di list undangan yang di undang saja, tapi sukses berdampak dan mendapatkan empati serta memberikan efek sosial yang luas, khususnya di ranah social media. Setahu saya, seni itu luas dan jika kamu mau sedikit lebih terbuka serta menyisihkan waktu lebih lama untuk riset, kamu bisa menghasilkan karya seni yang bermanfaat bagi orang banyak, tentu saja bermanfaat dalam hal yang positif. Oiya, apapun agama kamu.. Jangan lupa juga beribadah ya!

Semoga pengalaman ini jadi pelajaran untuk kita semua.




*update terakhir, Tontey mengeluarkan surat permohonan maaf kepada AIMI Jogja atas statementnya yang menyebutkan bahwa ia mendapatkan ASI dari AIMI tanpa ia tahu institusi tersebut ada dan berbadan hukum.