Tentang Kelahiran Zayd

September 3, 2016




Alhamdulillah wa syukurillah telah lahir anak pertama kami, Muhammad Zayd Abdurrahman, tepat di satu hari sebelum hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pengalaman melahirkan Zayd ini bisa dibilang cukup lancar, walaupun pada hari mendekati due date aku terserang syndrome takut melahirkan, bagaimanapun metode kelahirannya. Pengennya si Zayd keluar aja gak pake sakit dan langsung gede haha.

Over Due - Over Week

Singkat cerita di usia kandungan masuk 41 minggu, belum ada tanda-tanda persalinan yang muncul. Baik itu keluar lendir kental bercampur darah, pecah ketuban, apalagi kontraksi 3 menit sekali. Semua cara sudah dilakukan termasuk banyakin jalan, ngepel jongkok, senam kegel endebray endebrey tapi mules-mules kontraksi belum ada. Sampai akhirnya tibalah waktu cek kontrol minggu ke 41. Si dokter geleng-geleng tiap liat aku balik kontrol lagi karena belum mules-mules juga.

Obgyn : "lo belum mules juga?" 
Puput : *nyengir*
Obgyn : "yaudah yuk USG dulu"

Tanpa disangka-sangka, ternyata berat badan Zayd di dalam kandungan melesat cepat. Dari 2,9 kg di tiga hari sebelumnya, menjadi 3,1 kg. Cek air ketuban, ternyata sudah di bawah batas normal dan dokter bilang kalau begini keadaannya, bayi harus segera dikeluarkan. Setelah dilakukan pemeriksaan cek dalam, ternyata belum ada pembukaan sama sekali. Tapi sebelum menyarankan tindakan tertentu, obgynku menyarankan untuk cek CTG dulu untuk memastikan oksigen dari ibu ke bayi dan detak jantung bayi juga bagus.

Alhamdulillah CTG bagus, kemudian dokter menyarankan dua metode persalinan. Yang pertama, jika masih ingin normal, kontraksi akan dipancing dengan cara induksi. Tapi, jika dalam jangka waktu 24 jam tidak ada perkembangan (Red. pembukaan) jalan terakhir adalah harus dilakukan operasi. Sedangkan metode kelahiran yang kedua adalah melalui tindakan operasi sectio caesarea.

Seketika perasaan langsung down ketika diberikan dua pilihan seperti itu. Dimana ya ujung-ujungnya kalau gagal ya harus cesar. Pupus lah harapan untuk melahirkan normal. Tadinya aku dan suamiku berfikir untuk menunggu kontraksi alami. Setelah dikonsultasikan oleh dokter, menunggu kontraksi alami ternyata gak disarankan melihat kondisi air ketuban yang semakin tipis, ditakutkan kondisi bayi juga menurun.

Takut, bingung, galau, sampai akhirnya runding sana-sini dan minta second opinion ke obgyn lain (which is diagnosanya ternyata sama), diambilah tindakan langsung, yaitu cesar. Mengapa? menurut obgyn yang aku minta opininya (Second opinion), jika dilakukan proses induksi pasti akan memerlukan waktu lebih dari 24 jam dengan kadar "mules" yang pastinya lebih sakit dari mules lahiran normal tanpa induksi, alasannya karena aku belum ada pembukaan sama sekali di minggu ke 41 tersebut. Dengan resiko, air ketuban yang sedikit akan berpotensi makin berkurang dan berbahaya bagi janin.

Sempat berfikir apakah ini adalah pilihan yang tepat apa enggak. Karena konon katanya belum jadi "ibu" kalau gak ngerasain lahiran normal.. seilee.. apa iyaa?. Tapi terserahlah kata orang, yang tau kondisi ku dan anakku ya aku sendiri  dan dokter sebagai orang yang ahli dalam bidangnya.  InsyaAllah pilihan melahirkan lewat metode operasi ini adalah cara yang paling tepat yang Allah SWT pilihkan kepada kami, khususnya aku dan bayiku.

Sectio Caesarea

Tanggal 16 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB aku dan suami sudah mejeng di rumah sakit, bersiap untuk operasi ba'da dzuhur nanti. Setelah semua dokumen administrasi selesai, kami melakukan persiapan di ruangan bersalin. Perasaannya gimana mau operasi? Karena ini pertama kalinya aku operasi, aku excited banget karena akan bertemu dengan Zayd dalam hitungan beberapa jam kedepan dan karena ini operasi pertama ku (mudah-mudahan operasi yang terakhir juga), aku berusaha menyimak dan merekam semua proses persiapan sampai proses operasi selesai.



Aku dijadwalkan masuk ke ruang operasi pukul 14.00 WIB. Setelah proses persiapan menjelang operasi selesai, aku di bawa ke ruang perawatan untuk bersiap dan dijemput ke ruang operasi oleh suster-suster yang cantik dan ramah. Setelah pasang infus, ganti baju operasi, para suster tersebut datang dan aku pasrah sepasrah-pasrahnya. Pasrah mau diapain aja perutku yang penting anakku lahir dengan sehat, selamat, lengkap dan jujur aja selama proses persiapan operasi itu sempet melankolis melihat suami yang dengan siaganya menemani istrinya mau dioperasi. Yang namanya operasi, pasti ada rasa takut obat biusnya kebablasan ya kan? *iyain aja*. Langsung deh, dengan drama ala ala telenovela Rosalinda vs Tersanjung, aku bilang sama suami "aku titip Zayd ya nanti...". Sayangnya si suami tidak menyambut drama ala ala tersebut dan langsung sinis gitu responnya hahaha. 

Setelah salim-saliman, minta maaf sama suami, papa-mama, tante dan sempet (teteup) foto-foto juga sebelum masuk ke ruang operasi, akhirnya... "maaf ya pak, cuma boleh masuk sampai di sini saja" kata salah satu suster kepada suami sambil mendorong tempat tidur yang membawa aku ke ruangan observasi. Di bagian ini rasanya mau meweeekkkk! I can't live without my husbandddddd!! (dangdut -_-).

Masuklah ke ruangan observasi. Di sana mulai banyak dokter-dokter yang akan melakukan aksi operasi, dokter anastesi, bidan, dan ada anak kecil nangis meraung-raung yang konon katanya baru selesai operasi hernia. Dan suara anak kecil itu sempet bikin tambah parno dong ya.. Tapi tetep stay cool sambil dzikir yang banyakk. Setelah menunggu sekitar 5 menit, aku didorong masuk ke ruangan eksekusi.

Suasananya ruangan operasi itu dingin banget. Teringat pengalaman mbak ARTku yang beberapa hari sebelumnya cerita proses kelahirannya via cesar yang sungguh sakit dan menyiksa. Sambil dzikiran dan meluk bidan yang bertugas, dokter anastesi mulai memberikan pengarahan-pengarahan apa saja yang akan dilakukannya. Setelah pengarahan diberikan, disuntikkanlah obat bius di tulang belakang dan kakiku menjadi kesemutan dan baal seketika. Dan itu pertama kalinya aku tidak bisa menggerakkan kakiku sama sekali, sekuat apapun aku berusaha, kakiku udah mati rasa.



Namanya juga dibius setengah badan, jadi ya aku tahu perutku lagi diapain. Selain itu terdengar juga  topik percakapan para dokter yang saat itu sedang melakukan proses sectio. 

Beberapa saat kemudian, obgynku memberikan aba-aba kepada timnya: 
[ Obgyn = O, Dokter = D, Puput = P ]

O : "yuk dong semua, dorongan maut yaa ..1..2..3" 
Lalu, dua orang dokter berdiri di samping perutku dan menekan perutku dengan sekali dorongan.
D : "wih, dikit amat ketubannya" 
O : "ini mah bukan dikit, tapi nyaris gak ada". 
P : *pasrah..pasrah..isitghfar* 

Setelah dorongan maut tersebut, tiba-tiba terdengar samar-samar suara tangis bayi kecil yang lama-lama makin kencang. Sambil bertanya-tanya sendiri, itu Zayd bukan ya? Gak kerasa air mata ngucur sendiri, terharu! Alhamdulillah Ya Allah, Zayd udah lahir.. aku jadi ibu.. 

Dokter yang lain nyamperin aku dan tanya jenis kelaminnya apa waktu USG. Setengah sadar, aku jawab jenis kelamin anakku waktu USG. Gak lama, Zayd diletakkan di atas dadaku dan dokter yang lainnya bilang (ini dokternya banyak banget perasaan --") "Selamat ya bu, anaknya sudah lahir, laki-laki. Kita langsung IMD". Masya Allah, pertama kali cium anak dan lihat anak ada di atas dada kita rasanya tuh ya...priceless. Alhamdulillahirabbil'alamiin, akhirnya ketemu dengan makhluk kecil yang selama 10 bulan ada di dalam kandungan. Dan sekarang ada di atas dadaku untuk menyusui. Walaupun gak bisa elus-elus (karena tangan masih diiket), tapi rasa bahagianya bisa cium dan anak ada di dada kita itu gak bisa diungkapkan dengan kata-kata.. huhuhu alhamdulillah.

Waktu akan diletakkan di atas dadaku, suara tangisan Zayd kenceng banget, tapi lama-lama tangisannya reda waktu IMD, dan aku sambil bilang ke Zayd "Assalammualaikum sayang, ini ibu nak, ayo nak, bisa nenen kan ya sayang.. semangat nak". 



Setelah IMD, Zayd diangkat lagi untuk dibersihkan dan aku? nge-fly sejadi-jadinya. Pengen lebih lama lagi sama Zayd tapi gak bisa protes karena badan gak bisa gerak,  ngomong juga kayaknya udah ngaco, digeser sana-sini, ditempelin ini itu, diapa-apain juga pasrah. Tapi di saat nge-fly tersebut, masih loh aku kepikiran kapok untuk melahirkan cesar dan mau lahiran normal aja untuk anak kedua nanti hahahaha #eak #udahkepikirananakkeduaaja. 



Setelah "dirapihkan dan dibersihkan", aku dibawa ke ruang observasi dengan kondisi setengah sadar. Layaknya di film-film, tau-tau pas buka mata udah ada papa, mama dan tante-tante. Gak lama, suamiku dataaang sambil cium-cium. uuu...

Seperti yang sudah dibrief oleh dokter anastesi sebelumnya, aku akan menggigil pasca operasi nanti. Bener aja dong aku menggigil binggo. Gak enak banget menggigil ituh, belum lagi pegel, gak bisa gerak, kaki masih baal, rasanya pengen duduk tapi gak bisa. Setelah beberapa menit di ruang observasi, aku dibawa ke ruang perawatan. Di sana sudah banyak keluarga yang menunggu. Sekitar pukul 21.00 malam, Zayd dibawa ke ruangan akyu dan kita bobok bareng deh untuk pertama kalinya.

Rooming in dengan bayi mengharuskan kita untuk menyusui sang bayi walaupun kita sedang dalam kondisi gak bisa apa-apa. Aku masih terkulai tak berdaya, gak bisa dan gak boleh duduk, kaki masih gak bisa digerakkan, badan masih menggigil, kepala ga boleh diangkat, lalu bagaimana caranya aku memegang anakku dan menyusuinya? Alhamdulillah ada suami siaga yang dengan ikhlas dan sigapnya kalau Zayd nangis, doi langsung angkat Zayd dan taruh di sampingku untuk disusui. Alhamdulillah Zayd minumnya pinter. Semoga pinter terus dan bisa ASIX ya naaak!


Tentang Kelahiran Zayd

Begitulah kira-kira cerita tentang kelahiran Zayd. Intinya setiap anak punya ceritanya sendiri. Selain itu, di sini aku diingatkan kembali bahwa kita bisa berencana, tapi Allah SWT yang menentukan yang terbaik untuk ummatnya. Dari awal udah optimis banget mau lahiran normal, posisi bayi gak sungsang, tali pusat bagus banget gak nutup jalan lahir, namun Allah SWT punya kehendak lain. Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan.

Doakan semoga Zayd tumbuh menjadi anak yang sholeh, cerdas dan menjadi penyejuk bagi kedua orang tua, keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Aamiin YRA


Love,
Puput Utami.


SaveSave